Taman Wisata Alam Batu Gamping

Taman Wisata Alam Batu Gamping

Share This Post

Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Gamping telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 758/Kpts-ll/89 pada tanggal 16 Desember 1989. Luas total Kawasan CA/TWA Gunung Gamping yaitu 1,084 ha yang terdiri dari Cagar Alam seluas 0,015 ha dan Taman Wisata Alam seluas 1,069 ha yang berupa petak persawahan dan tanah kering.

Seirama Adat Budaya

Setiap tahun di Taman Wisata Alam Gunung Gamping dilaksanakan upacara adat Bekakak Saparan, Altar Gunung Gamping menjadi titik utama dari prosesi penyembelihan sepasang boneka pengantin dalam ritual adat Bekakak yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Safar. Upacara adat Bekakak ini dihidupi masyarakat sebagai wujud penghormatan pada leluhur mereka, Kyai dan Nyai Wirasuta, yang diyakini sebagai abdi setia Sultan Hamengku Buwana I sewaktu tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang. Kyai dan Nyai Wirasuta dikisahkan terkubur hidup-hidup di dalam gua yang runtuh, namun jasad mereka tidak ditemukan. Ritual ini dimaknai juga sebagai tolak bala sejak Gunung Gamping menelan banyak korban saat masih aktif ditambang, saat ini Gunung Gamping menjadi kawasan dilindungi.

 

Taman Wisata Alam Batu Gamping menjadi satu bagian tak terpisahkan dari sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta.

Cagar alam ini berada di Jl. Rajimin, Tridadi, Sleman berjarak sekitar empat kilometer dari pusat Kota Yogyakarta.

Hingga kini, Cagar Alam Gunung Gamping berada di bawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta.

Meski bernama Gunung Gamping bukan lantas objek wisata satu ini berupa hamparan pegunungan gamping yang luas.

Gunung Gamping hanya menyisakan bongkahan besar batu gamping dengan diameter kurang lebih 50 meter dengan ketinggian 10 meter. 

Meski luasnya hanya sekitar satu hektar, keberadaan Cagar Alam Gunung Gamping sebagai kawasan konservasi sangatlah penting.

Salah satunya, untuk mengetahui sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta dan kehidupan masyarakat saat itu. 



Berada di dalam area objek wisata,  udara terasa begitu sejuk karena dikelilingi banyak pohon perindang.

Salah satunya keberadaan pohon perindang bernama Preh atau memiliki nama latin Ficus Retusa ini.

Sugito, penduduk setempat yang diperbantukan oleh BKSDA untuk turut menjaga objek wisata ini.

Ia pun bercerita soal mengapa Gunung Gamping hanya menyisakan bongkahan batu seperti saat ini.

Yaitu, disebabkan oleh aktivitas penambangan besar-besaran untuk produksi kapur pada era Hindia Belanda sekitar tahun 1800. 

Tidak ada kepastian sejak kapan aktivitas penambangan besar besaran gamping ini berlangsung.



Namun fakta sejarah mencatat, sekira tahun 1800 tersebut, berkembangnya industri gula di Yogyakarta disinyalir menjadi penyebab utama.

Ini karena setiap pabrik gula saat itu membutuhkan ratusan ton kapur yang dihasilkan dari bahan batu gamping dari Gunung Gamping ini.

Alhasil, aktivitas penambangan menjadikan luasan area Gunung Gamping terus menerus menurun.

Menurut pengetahuan sejarah Sugito, awalnya batuan gamping di Gunung Gamping ini diambil untuk membuat Keraton Yogyakarta.

Sebelum berdiri, paska perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwana I bermukim di sini sekitar tahun 1755 hingga 1756.

Di sinilah Pangeran Mangkubumi memantau pembangunan Keraton Yogyakarta yang sekarang masih ada. 

Dari cerita yang berebdar, konon di atas bongkahan batu yang sekarang tersisa ini lah konon Pangeran Mangkubumi kerap bermunajat. 

“Di atas seperti ada semacam petilasan atau bekas tempat duduk yang dipercaya sebagai tempat HB I dulu bertapa,” kata Sugito.

Tak sembarang orang menurut Sugito bisa dan diperbolehkan ke atas bongkahan batu gamping ini.

Hanya petugas kebersihan yang diperbolehkan ke atas untuk merawat dan membersihkan area batu dari tanaman liar.

Itu pun dilakukan harus dengan sepengetahuan dan seizin pihak Keraton Yogyakarta.

Bisa Jadi Spot Foto Menarik

Meski hanya berupa bongkahan batu besar, Cagar Alam Gunung Gamping bisa dibilang tak kalah instagramable.

Bila menemukan titik yang pas saat pengambilan gambar, pengunjung bisa mendapatkan foto dengan latar belakang batu raksasa ini.

Selain itu, pengelola juga menyediakan fasilitas untuk mengadakan perkemahan.

Objek wisata ini dibuka untuk umum mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.30 WIB.

Untuk tarif hari biasa Rp 5000 perorang, sementara untuk hari libur Rp 7500 perorang, bagi wisatawan mancanegara diberlakukan tarif berbeda.

Untuk diketahui, batuan di bongkahan Gunung Gamping ini pernah menjadi objek penelitian baik para peneliti tanah air dan juga mancanegara.

Menurut beberapa literatur hasil penelitian menyebutkan, batuan di Gunung Gamping ini merupakan hasil dari pembentukan antara 42,5 juta sampai 36 juta tahun silam.

Untuk itulah, seorang geolog Swiss, Werner Rothpletz dan koleganya bernama M.M Purbo Hadiwidjojo mengusulkan agar bongkahan yang saat ini masih tersisa menjadi kawasan suaka alam.

 

Cagar Alam (CA) / Taman Wisata Alam (TWA) Batu Gamping bukan hanya sekedar sisa Batuan Biasa. Terdapat keunikan Geologi di dalamnya mulai dari proses pembentukan hingga sejarah yang terjadi di sekitar Batu Gamping tersebut. Keunikan ini banyak menarik minat bagi pelajar dan mahasiswa, terutama yang belajar di bidang geologi.

CA/TWA Batu Gamping pada hari Rabu (20/09/2023) mendapat kunjungan dari Mahasiswa dan Siswa SMA se-Indonesia dalam rangka fieldtrip. Fieldtrip ini merupakan rangkaian acara Geoweek 2023, berupa Lomba Cerdas Cermat Kebumian dengan peserta siswa SMA se-Indonesia yang dilaksanakan oleh Fakultas Teknik UGM. Peserta yang hadir dalam kunjungan ini sebanyak 40 orang, terdiri dari mahasiswa dan peserta Geoweek 2023. Sebelum peserta kembali ke daerah masing-masing maka dilaksanakan kegiatan pengenalan proses geologi dan geosite yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Filedtrip dilakukan ke 3 (tiga) lokasi geosite di DIY, yaitu CA/TWA Batu Gamping, Goa Kiskendo, dan Museum Monumen Diponegoro.

CA/TWA Batu Gamping dipilih sebagai salah satu lokasi karena memiliki nilai geologi dan budaya yang saling berkaitan erat. Batuan Gamping merupakan salah satu contoh bebatuan yang tertua di Yogyakarta, dengan usia lebih dari 40 Juta Tahun (Zaman Eosin). Awalnya Batu Gamping ini merupakan pegunungan gamping yang terbentang sepanjang 4-5 km. Pembangunan keraton dan sekitarnya, serta penggunaan batu gamping untuk produksi gula menjadi pemicu penambangan gunung gamping.

Nilai Budaya CA/TWA Batu Gamping yaitu adanya Upacara Saparan Bekakak. Kesadaran akan nilai-nilai sejarah, konservasi alam dan lingkungannya perlu diberikan sejak dini, sehingga tidak terjadi degradasi pengetahuan akan konservasi, terutama konservasi bidang geologi. Dimana geologi menyimpan banyak nilai dan sejarah di dalamnya yang dapat dipelajari untuk pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Baca Juga Taman Wisata Alam Pulau Kelam

More To Explore

Taman Wisata Alam Teluk Maumere
Destinasi Jelajah
Admin

Taman Wisata Alam Teluk Maumere

Taman Wisata Alam Teluk Maumere juga dikenal dengan nama Gugus Pulau Teluk Maumere, karena terdiri atas 10 pulau besar dan kecil yang sebagian berpenghuni, yaitu

Read More »
Taman Wisata Perairan Pulau Pieh
Destinasi Jelajah
Admin

Taman Wisata Perairan Pulau Pieh

Taman Wisata Perairan Pulau Pieh (TWP Pulau Pieh) adalah taman wisata perairan yang ada di Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Lahan yang ditempati oleh

Read More »

Populer Trips Hiking

Private Trip Gunung Semeru

4,8
4/5

Rp. 3.500.000,-

Rp. 2.699.000

Private Trip Gunung Pangrango

4,8
4/5

Rp. 2.500.000,-

Rp. 1.799.000

Private Trip Gunung Gede

4,8
4/5

Rp. 2.500.000,-

Rp. 1.799.000

Private Trip Gunung Ciremai

4,8
4/5

Rp. 2.500.000,-

Rp. 1.799.000

Private Trip Gunung Kerinci

4,8
4/5

Rp. 5.000.000,-

Rp. 3.699.000

Private Trip Gunung Rinjani

4,8
4/5

Rp. 5.000.000,-

Rp. 3.999.000

Do You Want To Boost Your Skill Hiking?

drop us a line and keep in touch

Kirim Pesan
Dapatkan Paket Private Trip dari kami dengan pralatan dan pelayanan terbaik serta harga MURAH. Silahkan chat kami untuk info lebih lanjut